Jumat, 01 Oktober 2010

The Da Vinci Code *repost*

Tidak sedikit karya Hollywood yang mengundang banyak kontroversi di negara tertentu, taruhlah True Lies yang dituduh melecehkan masyarakat muslim, atau Memoir of A Geiza yang dituding oleh pemerintah Jepang menguak sensualitas yang tidak sepatutnya dipertontonkan, dan yang terhangat saat ini adalah The Da Vinci Code, sebuah karya sinematografi yang disutradarai oleh Ron Howard dan merupakan deformasi utuh dari novel dengan judul yang sama.

Di Amerika Serikat sendiri (dan di sebagian besar Negara Barat dan Eropa), karya-karya yang berbau sensitif (baca: SARA) tidak terlalu mendapatkan tekanan dari publik pencermat. Isu panas semisal kebebasan penafsiran beragama, homoseksual, kebobrokan sistem pemerintahan, rasialisme, dan kekerasan dalam bidang industri telah jamak diangkat sebagai topik utama dalam karya massal dan tidak terlalu menghadapi resiko pembredelan dari pemerintah. Bahkan The Da Vinci Code yang menghebohkan tersebut tidak mendapatkan tanggapan istimewa di kancah Cannes Film Festival. Perbedaan kualitas pemahaman sebuah karya disebabkan salah satunya oleh tingkat kedewasaan publik yang lebih mampu menyikapi sebuah karya sebagai khasanah pemikiran dan budaya.dan bukan sebagai alat propaganda belaka.
Di Indonesia sendiri, karya-karya “panas” semacam itu hanya mendapat peraduan hangat di kalangan terbatas semisal kritikus, apresiator, dan kelompok pemikir lainnya. Sisanya seringkali hanya melihat karya sebagai sebuah deklarasi tentang sesuatu hal yang bagi mereka sangat membahayakan dan tidak sejalur dengan kredo yang mereka yakini sehingga harus dihentikan penyebarannya tanpa melakukan kajian yang matang terlebih dahulu. Di Indonesia sebuah karya seringkali dipandang sebagai cerminan fakta yang harus disikapi secara ekstra hati-hati karena dikhawatirkan dampak yang mengikutinya akan melemahkan keimanan dan tatanan lain yang telah mapan di masyarakat.

Kita sebenarnya harus mampu membedakan apakah sebuah karya tersebut merupakan karya ilmiah atau kah karya fiksi semata yang kebetulan diproduksi berdasarkan riset ilmiah yang jauh lebih lama dan lebih valid ketimbang yang dilakukan oleh kebanyakan cendekiawan kita dalam meraih gelar akademisi keilmuannya. Dalam hal ini kita harus mempertimbangkan proses produksi-konsumsi sebuah karya yang pada dasarnya dilakukan untuk memompa hasil penjualan tiket. Karya sukses semisal Harry Potter, The Lord of The Ring, Planet of Ape, King Kong dan bahkan animasi Finding Nemo pada proses pra-produksinya juga mengutamakan riset mendalam yang sangat serius yang kemudian secara keseluruhan diimplementasikan ke dalam sebuah “realita” layar lebar. Kemampuan seluruh elemen pendukung industri perfilman sangat menentukan kesusksesan sebuah film. Sebagaimana The Da Vinci Code dianggap sebagai sebuah karya yang menampilkan sisi lain dari sebuah kredo, hal yang hampir sama terjadi pada karya novel fiktif lokal S.H. Mintarja yang mampu menanamkan kepercayaan di benak pembacanya tentang keberadaan keris Nogo Sosro dan Sabuk Inten di dunia nyata ini. Tapi yang jelas, aku sang kreator, mereka tidak bermaksud merombak kredo yang selama ini telah mapan tetapi lebih pada upaya untuk meningkatkan sisi artistik dan kreatif dari karya mereka. Ini berarti bahwa karya tersebut memang murni sebagai karya fiksi dan dampak yang dihasilkan semata-mata hanyalah hasil dari kerja keras dan kecerdasan mereka dalam berkreasi dan menghidupkan atmosfir yang telah direncanakan secara apik dalam skenario.
Jika kita mencermati secara lebih seksama pada karya sinematografi (baik dalam bentuk film layar lebar maupun sinetron) yang ditayangkan di pertelevisian nasional dewasa ini, sebenarnya banyak sekali hal yang pada dasarnya sama dengan yang diangkat dalam The Da Vinci Code namun tidak mendapatkan respon atau reaksi keras dari pemirsa. Banyak film Hollywood yang menampilkan sosok kriminal atau karakter antagonis lainnya yang diekspos mengenakan kalung salib saat mereka melakukan tindak kejahatan atau asusila. Lihat pula berbagai adegan sinetron bergaya Islami yang sama sekali bertentangan dengan ajaran hakiki agama Islam terutama yang berkenaan dengan masalah gaib. Kenapa tidak terjadi protes dari masyarakat?
Ada beberapa faktor utama yang menyebabkan karya-karya tersebut tidak mendulang reaksi keras di Indonesia. Pertama, efek publikasi dan apresiasi yang tidak begitu heboh; kedua, ketidakpedulian masyarakat terhadap kejanggalan yang ditampilkan dalam karya tersebut; dan ketiga, ketidakmampuan sineas kita dalam menghasilkan karya fiksi yang benar-benar hidup sehingga publik pemirsa masih berada di alam sadar saat menonton acara yang mereka anggap sebagai media hiburan belaka. Berbeda dari kasus The Da Vinci Code dan True Lies misalnya, kedua karya tersebut diapresiasi sebagai sebuah karya ilmiah dan seolah merupakan presentasi dari nilai-nilai yang dipercayai ingin disebarluaskan oleh sang kreator.

Saya pernah mengalami masalah yang sama saat melakukan riset awal untuk naskah serial Fenomena Candi yang ditayangkan oleh TVRI nasional. Saat mengadakan diskusi kecil dengan beberapa saudara pemeluk Budha tentang latar belakang budaya candi Pawon, mereka memprotes pernyataan saya tentang kemungkinan candi Pawon tidak dibangun oleh masyarakat Budha. Klaim bahwa candi Pawon dibangun oleh masyarakat Budha menurut saya tidak terlepas dari kepercayaan kuat tentang posisi tatanan kosmos yang meliputi kesatuan candi Mendhut (yang oleh dr. De Casparis disebut sebagai preparathory bhumi) – Pawon – Borobudhur. Tatanan tersebut hingga kini menjadi satu kesatuan prosesi suci yang mereka jalani.

Kondisi pemahaman dan pemikiran yang sedemiakian tentu saja akan sangat mempengaruhi pola apresiasi masyarakat terhadap sebuah karya dan dalam hal ini adalah The Da Vinci Code dan karya lain yang sejenis. Latar belakang publik paresiator sangat menentukan penilaian yang mereka kemukakan dan tentu saja jika penilaian tersebut didukung oleh kelompok besar dan berpengaruh maka jelas sudah nasib sebuah karya fiksi yang dikerjakan berdasarkan proses produksi-konsumsi seni itu; pemboikotan atau bahkan pembredelan dan pemasungan terhadap segala sesuatu yang berkenaan dengan sang kreator. Tampaknya publik Indonesia sebagian besar belum siap menerima pemikiran baru dan karya fiksi yang cenderung berbeda dari kredo yang selama ini mereka yakini. Inilah budaya Timur, kesantunan dan adat-istiadat harus dipertahankan, sekalipun dengan pertumpahan darah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar